Minggu, 19 Desember 2010

SULE,, PEMERAN PERANG TARIF

Waktu saya nonton tayangan opera van java edisi road to Surabaya. Ketika, jeda komersial, Saya kaget lihat iklan sebuah operator terbesar (TELKOMSEL-red) dengan salah satu produknya (Kartu AS). Iklannya nyentil banget. Bintang iklan yang jadi kontroversi itu adalah SULE, pelawak yang sekarang sedang naik daun. Awalnya Sule adalah bintang iklan XL. Di XL, Sule bermain satu frame dengan bintang cilik Baim dan Putri Titian.

Di situ, si Baim disuruh om sule untuk ngomong, “om sule ganteng”, tapi dengan kepolosan dan kejujuran (yang tentu saja sudah direkayasa oleh sutradara – jelas banget keliatan) si baim ngomong, “om sule jelek..”.
Setelah itu, sule kemudian membujuk baim untuk ngomong lagi, “om sule ganteng” tapi kali ini si baim dikasih es krim sama sule. Tapi tetap saja si baim ngomong, “om sule jelek”.
XL membuat sebuah jargon, “sejujur baim, sejujur XL”.
Iklan ini dibalas oleh TELKOMSEL dengan meluncurkan iklan kartu AS. Awalnya, bintang iklannya bukan sule, tapi di iklan tersebut sudah membalas iklan XL tersebut dengan kata-katanya yang kurang lebih berbunyi seperti ini, “makanya, jangan mau diboongin anak kecil..!!!”

Nggak cukup di situ, ternyata tadi malam, kartu AS meluncurkan iklan baru dengan bintang sule. Di iklan tersebut, sule menyatakan kepada pers bahwa dia sudah tobat. Sule sekarang memakai kartu AS yang katanya murahnya dari awal, jujur. Sule juga berkata bahwa dia kapok diboongin anak kecil sambil tertawa dengan nada mengejek.
Perang iklan antar operator sebenarnya sudah lama terjadi. Namun pada perang iklan yang satu ini, tergolong parah. Biasanya, tidak ada bintang iklan yang pindah ke produk kompetitor selama jangka waktu kurang dari 6 bulan. Namun pada kasus ini, saat penayangan iklan XL masih diputar di Televisi, sudah ada iklan lain yang “menjatuhkan” iklan lain dengan menggunakan bintang iklan yang sama.

Perang provider celullar paling seru saat ini adalah antara XL dan Telkomsel. Berkali-kali kita dapat melihat iklan-iklan kartu XL dan kartu as/simpati (Telkomsel) saling menjatuhkan dengan cara saling memurahkan tarif sendiri.

Kini perang 2 kartu yang sudah ternama ini kian meruncing dan langsung tak tanggung-tanggung menyindir satu sama lain secara vulgar.

Sindiran terbaru kali ini adalah mengenai perang tarif antara 2 provider tersebut. XL menawarkan 25 rupiah/menit sedangkan kartu as menawarkan 20 rupiah/menit. Siapa yang menang ? Tentu pasti kartu As dalam hal tarif termurah.

Iklan XL yang menawarkan Rp 25/menit menggunakan artis cilik Baim sebagai modelnya, menggunakan kepolosan Baim dengan kesan mengatakan bahwa tarifnya XL jujur. Namun di salah satu iklan XL yang menceritakan Baim sedang main monopoli, lalu ia disuruh milih antara uang logam 25 rupiah beneran dengan 20 perak uang monopoli boongan, Baim pun segera memilih uang logam 25 rupiah dan mengatakan bahwa uang monopoli yang bernilai 20 itu bo’ongan. Tahu kan 20 perak uang monopoli ini menggambarkan provider mana ?

Sindiran iklan XL itu segera dibalas oleh iklan kartu As, dengan slogan baru di akhir iklan yaitu “Jangan mau dibo’ongin anak kecil (Baim) !”. Bahkan kartu As tak tanggung-tanggung menyindir XL, telkomsel berhasil “menculik” bintang iklan dari XL yaitu Sule. Sule pernah membintangi iklan XL dimana ia menjadi presenter selalu dibilang “jelek” sama Baim, mungkin gara-gara sakit hati dibilang jelek sama Baim akhirnya Sule pun dengan PD-nya membintangi saingan berat provider XL yaitu Telkomsel

Iklan terbaru Sule ini, Sule bercerita bahwa ia kapok dan tobat. Ha5x, dan diakhir iklan terucap “kata sakti” kartu As saat ini “Jangan mau dibo’ongin anak kecil !” Kini yang jadi pertanyaan terbesar adalah “Siapa yang jujur ?”

Minggu, 05 Desember 2010

Rekaman Di Rumah Sendiri


Akhir – akhir ini jumlah band-band Indonesia semakin membeludak. Salah satu faktornya adalah karena semakin mudahnya kesempatan band-band ini untuk merekam lagu-lagu mereka. Gak seperti jaman dulu, studionya masih dikit, mahal, perlengkapannya analog, jadi kalo ada kesalahan saat recording ya mulai dari awal lagi :) .
Pada jama modern ini, banyak alternativ untuk merecord karya-karya kita. Dari yang paling mahal : Rekaman di studio professional, dan yang paling murah : Rekaman sendiri di tape compo :D

Salah satu alternatif yang banyak digunakan adalah, Digital Home Recording. Yup, jadi intinya kita bikin studio rekaman di rumah kita sendiri, dengan peralatan yg minim.
Peralatan yang di butuhkan :
  • Komputer / Laptop *
  • Sound Card External (optional)
  • Alat musik
  • Kabel
  • Speaker
  • Headset
  • Software Sound Recording
  • Software2 pendukung lainnya, kayak Magix Musik Maker dsb…
Ok, kalo udah punya itu semua.. terus ngapain lagi?
Yang harus dilakukan:
  1. Install software buat recordingnya, kalo ada install juga software pendukungnya kyk fruity loop (bisa bikin music digital dari situ)
    Contoh software buat recording : Magix Musik Maker, Nuendo, Cubase, Adobe Audtion / Cool Edit Pro.
  2. Kalo punya Sound Card yang bagus, install juga driver2nya biar bisa di gunakan.
    Sound Card itu optional saja, tergantung kemampuan kantong. Harganya bisa jutaan.
    Kenapa pake? Semakin bagus sound card, maka sound yang di hasilkan baik dari inputan maupun untuk output akan baik. Juga dalam proses rendering musik.
    Terus kalo pake sound card yang udah ada dalam komputer/laptop? Ya gak papa, cuma masalah kualitas saja kok :)
  3. Kalo sofware sudah semua, siapkan alat-alat musiknya beserta kabelnya.
    Kabel sesuaikan dengan output alat musik kita dan input di laptop/koputer.
  4. Setting jalur input kita untuk rekaman. Ajust Audio Properties -> Audio ->Sound Recording -> Valome.
    Pilih jalur yang akan di gunakan.
  5. Hubungkan alat musik dengan komputer/laptop.
  6. Buka software rekamannya.
  7. Buat track baru, pilih mode record.
  8. Aktifkan Metronome.
  9. Atur tempo.
  10. RECORD!!!
  11. Main kan musikmu :)
  12. Kalo pengen nambah track. Tambah track lagi, pilih mode record.
  13. Ulangi langkah ke 7.
Nah, setelah proses yang biasa dinamakan ngetrack tadi, kalian bisa langsung nge mix semua track, atau di atur sedemikian rupa dulu agar balance baru di mix. Proses setelah nge-balance-in semua track adalah mastering. Disitu kita bisa ngasih warna musik, soundnya kayak gimana, dsb…
Nah kalo pengen agak bagusan, mending hasil nge-track kita, kita serain ke orang yang lebih professional. Biar di atur sedemikian rupa biar balance dan lebih standar. Paling nggak kita sudah menghemat biaya menyewa studio :)
Bagi yang kesusahan recording Drum
Recording Drum gak harus dari drum asli. Bisa pake software kayak FL (Fruity Loop), Reason, Nuendo, Magix Musik Maker dsb…
Di situ kita bisa mlih drum (suaranya dan settingannya) dari yang sudah di sediakan ataupun mau meng-custom sendiri. Terus, kita bikin bisa bikin note-note drumnya sesuai yang mau di bikin. Gak harus bisa baca note kok, soalnya yang di tulis bukan not-not balok. Penasaran? Coba saja sendiri.
Selamat Mencoba :) , sapa tau bisa ngalahin kangen Band :D
*Ohya sekedar info: dulu yang suka home recording sperti ini adalah Sin3ntosca. Satu-satunya anggotanya, si Jalu, biasanya bikin lagu sendiri, di aransemen sendiri, terus di rekam sendiri di kamarnya. Caranya, ya seperti yang di sebutin di atas :)

Bagi teman-teman yang ingin membuat musik sendiri, bisa menggunakan softwear steinberg Magix Musik Maker, Nuendo atau Cubase. ini contoh penyanyi dan grub band Indonesia yang menggunakan program tersebut.

NUENDO:
- Agnes Monica
- Ahmad Dhani DEWA
- Catur FREZIA
- Denny "SABILA" Chasmala
- Eross SHEILA ON 7
- Fish TELEPHONE
- Hardian MATERA
- Iwang MODULUS
- Joseph Setiawan Djafar
- Levi THE FLY
- Tya Subiakto, TNT ORCHESTRA
- Viky Sianipar

CUBASE:
- Addie MS, TWILITE ORCHESTRA
- Aksan Sjuman
- Anang KD
- Andi Ayunir, A-SYSTEM
- Andy BAYOU
- Bebi Romeo
- Indra Lesmana
- Angga MALIQ D' ESSENTIALS
- Indra Q
- Once DEWA
- Popo Fauza SENYAWA
- Ricky FIVE MINUTES
- Thoersi Argeswara
- Thomas GIGI & DJ Riri
- Tohpati
- Tyo "SABILA" Adrian
- Uki PETER PAN

Sabtu, 04 Desember 2010

Rubrik Bahasa

Sekali Lagi, Peluluhan Fonem


Bahasa sebenarnya bunyi yang mengandung arti atau makna. Itu bahasa yang primer. Bahasa lain adalah bahasa tulis dan bahasa isyarat. Keduanya masuk bahasa sekunder. Dalam menggunakan bahasa, bunyi yang satu dengan bunyi yang lain saling mempengaruhi. Misalnya, bunyi- bunyi yang tidak bersuara dapat menjadi bersuara karena pengaruh bunyi yang mendahului atau mengikutinya. Misalnya, bunyi /t/ tidak bersuara, tetapi berdekatan dengan /n/ yang bersuara, bunyi /t/ dapat berubah menjadi bunyi bersuara seperti pada kata `pantai`, `menonton`. Bunyi- bunyi yang tajam seperti /k,p,t,c/, dan bunyi desis `s` biasanya luluh bila diberi prefiks `meng-`. Contohnya, `meng-kais` menjadi `mengais`, `mem-pukul` menjadi `memukul`, `men-tangkap` menjadi `menangkap`, `meny-cari` seharusnya dalam bahasa Indonesia (BI) seharusnya menjadi `menyari`, tetapi menjadi `meny-cari` yang kita tuliskan secara ortografis menjadi `mencari`.

Namun, ada beberapa pengecualian. Kita menetapkan bahwa gugus konsonan tidak mengalami peluluhan pada awal kata walaupun konsonan yang digunakan /k,p,t,s/. Misalnya, konsonan /k/ pada kata `mengkristal`, `mengkritik`, konsonan /p/ tidak luluh pada kata `memprotes`, `memproklamasikan`, konsonan /t/ tidak luluh pada kata `mentraktir`, `mentransportasi`, konsonan /s/ tidak luluh pada `menstrukturkan`, `mensteril`.

Selain itu, kita biasanya membiarkan kata-kata asing tanpa peluluhan seperti pada kata `mempopulerkan`, `mentoleransi`. Kata-kata bersuku satu dalam bahasa Melayu tidak mengalami peluluhan fonem awalnya seperti pada kata `memposkan`, mempak`, tetapi sekarang dalam BI kata- kata bersuku satu diberi prefiks `menge-`, seperti pada kata `mengepak`, `mengeposkan`. Ini mungkin pengaruh bahasa Jawa. Dalam bahasa Melayu tidak ada alomorf `menge-`. Yang ada hanya `me-`, `mem- `, `men-`, `meng-`, `meny-`.

Ada juga kata-kata dalam BI yang diperlakukan secara khusus seperti kata `mempunyai` dan `mempengaruhi`. Kata `punya` berasal dari `mpu`, menjadi `empu` yang berarti `ibu` seperti pada empu jari; berarti `pembuat keris` seperti pada Empu Gandring; berarti `pemilik` seperti pada “Buku itu saya empu-nya”. Kata `empunya` dalam BI berubah menjadi `punya`. Kata `pengaruh` dalam BI mungkin dianggap oleh pemakai bahasa bahwa /pe/ adalah awalan (prefiks) sehingga tidak diluluhkan /p/-nya seperti pada kata `mempercepat`, `memperbesar`.

Yang aneh adalah bahwa kata-kata serapan berfonem awalan /k/ sering dalam BI tidak diluluhkan, misalnya kata `meng-konsentrasikan`, `meng- kombinasikan`. Tetapi perkecualian pada `mengontrak` dan bukan `meng- kontrak`.

Dari contoh-contoh di atas, kita melihat bahwa pada umumnya kata- kata asing diperlakukan khusus dibandingkan dengan kata-kata asli. Orang tidak menulis `menraktir`, tetapi `metrakir`. Ini merupakan masalah dalam BI. Itu sebabnya, guru pengajar di SD sampai dengan SMA harus memperhatikan benar hal ini dan mengajarkan kepada muridnya sebagaimana seharusnya.

Kalau murid mereka melanjutkan studinya sampai perguruan tinggi, dosennya tidak perlu lagi menjelaskan hal-hal yang memang seharusnya sudah mereka kuasai. Bahasa Indonesia sampai saat ini masih terus tumbuh dan berkembang sehingga kita sebagai pemakai bahasa itu harus menguasai semua aturan yang berlaku tentang strukturnya, baik struktur kata (morfologi) maupun struktur kalimatnya (sintaksis).

Intisari Nov 2004. J.S. Badudu.

Rubrik Bahasa

Kalimat Tanpa Objek atau Pelaku

Kalimat “Ibu Aminah sudah melahirkan” dianggap sempurna walaupun tidak mengandung objek. Kalimat ini malah akan terkesan lucu atau tersinyalir mengejek jika dibubuhi objek, “Ibu Aminah sudah melahirkan anak”, karena tidak lazim.

Objek adalah sesuatu yang mengalami atau menderita atas apa yang disebutkan oleh sebutan kalimat (predikat). Demikianlah definisi objek menurut tata bahasa tradisional. Bagi orang yang pernah belajar salah satu bahasa secara ilmiah, lebih afdol menyimak pula definisi objek menurut tata bahasa struktural, yaitu objek adalah apa/siapa yang pada kalimat pasif akan menjadi subjek. Ya, dalam hal ini kita memang diharapkan telah memahami perbedaan kalimat aktif dan pasif.

Untuk menguji apakah “anak” pada kalimat di atas memang betul-betul objek, kita dapat mencoba menyusun bentuk pasifnya. Hasilnya, “Anak sudah dilahirkan Ibu Aminah”. Kalimat terakhir ini terasa janggal dan aneh, tetapi strukturnya betul. Contoh-contoh pasangan “predikat-objek” lain yang objeknya tidak secara eksplisit dimunculkan cukup banyak, misalnya “menyakitkan (hati)”, “memusingkan (kepala)”, atau “menghanyutkan (perasaan)”.

Bentuk-bentuk pasif pasangan-pasangan itu adalah “hati disakitkan”, “kepala dipusingkan”, dan “perasaan dihanyutkan”.

Tentu kita tidak dapat menyalahkan kalimat yang bentuk atau maknanya aneh semata-mata berdasarkan perasaan. Analisis di atas sudah benar. Sekarang hanya ada dua pilihan. Pertama, menyimpulkan bahwa apabila objek sebuah kalimat aktif disembunyikan, penuturnya memang bersiasat supaya kalimatnya tidak muncul atau direkayasa menjadi berbentuk pasif. Kedua, menganulir jabatan objek pada pasangan “predikat-objek” tertentu yang riskan muncul dalam bentuk pasif dan menganggapnya bukan berjabatan objek, melainkan keterangan. (Jadi, kata-kata “anak”, “hati”, “kepala”, dan °perasaan” pada konstruksi “melahirkan anak”, “menyakitkan hati”, “memusingkan kepala”, dan “menghanyutkan perasaan” di atas disatukan berjabatan keterangan.)

Unsur kalimat yang menjabat sebagai keterangan bersifat opsional kemunculan dan pemunculannya. Salah satu kalimat contoh yang amat sering ditampilkan dan kemudian dianggap salah adalah “Rumah kami dilempari batu”. Disebut salah sebab jika dijadikan kalimat aktif, kalimat itu dapat/mungkin berbunyi “Batu melempari rumah kami”. Begitulah, andaikata pejabat keterangan kalimat keliru dikenali sebagai pelaku (atau kesempatan lain sebagai objek sebagaimana kasus di atas sebelum ini).

Kalimat “Rumah kami dilempari batu” sebenarnya harus diuraikan jabatan kalimatnya menjadi: rumah kami = subjek; dilempari = predikat; batu = keterangan. Karena menjabat sebagai keterangan, “batu” tak dapat menjadi subjek bila kalimat itu direkayasa menjadi kalimat aktif. Lantas di mana pelaku dalam kalimat itu? Disembunyikan atau tersembunyi! Kalimat pasif memang sering tampil tanpa jabatan pelaku.

Perhatikan, kalimat-kalimat pasif berikut ini sama sekali tak mensyaratkan munculnya pelaku: “Rumah kami dilempari”, “Tanah itu sudah dijual”, atau “Dapur sedang dibersihkan”. Kemudian perluas kalimat-kalimat itu dengan keterangan dan ujilah. Apakah kalimat-kalimat pasif “Tanah itu sudah dijual murah” dan “Dapur sedang dibersihkan sekarang” layak dipaksakan tampil menjadi kalimat-kalimat aktif “Murah sudah menjual tanah itu” dan “Sekarang sedang membersihkan dapur”, sebagaimana “Rumah kami dilempari batu” direkayasa menjadi “Batu melempari rumah”.

Tidak seperti banyak bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata karena posisinya dalam kalimat sehingga jabatan sebuah kata dalam kalimat perlu lebih dicermati. Bahasa Jerman umpamanya, memiliki artikel di depan kata benda yang dapat memastikan kedusebuah kata sebagai subjek, objek, atau penyerta.

Jumat, 03 Desember 2010

Motivasi Diri

Adalah keliru menuntut orang lain memotivasi anda. Tak seorang pun bertanggung jawab atas timbul tenggelamnya motivasi itu di dalam diri anda, melainkan anda sendiri. Pidato pemimpin yang menggebu-gebu, program pelatihan yang menggairahkan atau pernyataan visi yang penuh kalimat indah, semua itu hanya usaha mengetuk pintu motivasi diri anda. Bila anda tak berkenan membukanya, gedoran sekeras apa pun takkan berguna. Karena anda bertanggung jawab atas perjalanan karier dan hidup anda, maka bangunlah, bangunkan diri anda sendiri.
Anda pun tak bertanggung jawab pada naik turunnya motivasi orang lain. Karena anda tak selalu tahu apa harapan mereka. Motivasi selalu bertalian dengan harapan. Sediakan tempat bagi mereka untuk memenuhi harapan bersama: antara anda dan mereka. Kemudian bekerjalah bahu-membahu untuk mewujudkannya. Motivasi selalu muncul dari kegembiraan. Sedangkan kegembiraan ditemukan dalam kerja bersama.

Rubrik Bahasa

Sekali Lagi, ‘Alay’

Akhir-akhir ini marak pemakaian bahasa gaul anak muda yang sering disebut sebagai bahasa alay. Pertanyaan bernada cemas biasanya berasal dari kalangan pendidik: apakah lama-lama bahasa gaul ala remaja itu tidak merusak bahasa? Bagaimana nanti nasib bahasa Indonesia jika bahasa alay justru lebih banyak dipakai?

Kecemasan itu wajar jika penutur bahasa Indonesia di perkantoran atau forum-forum resmi sudah menggunakan bahasa alay. Namun, jika para pendidik dan para muridnya, para pejabat dan anak buahnya, para bos dan karyawannya masih memakai bahasa Indonesia di lingkungan mereka, bahasa alay tak perlu dicemaskan. Kondisinya justru bisa dibalik: bagaimana kalau bahasa alay dibiarkan berkembang? Eh, siapa tahu pada tataran tertentu bisa memperkaya bahasa Indonesia.

Kita tidak terlalu mencemaskan maraknya bahasa alay karena faktanya Bahasa Indonesia masih tampak baik-baik saja. Artinya, bahasa Indonesia masih dipakai pada forum-forum resmi. Kita layak cemas jika pada forum-forum resmi seperti seminar, pidato kenegaraan, proses belajar mengajar di sekolah, dan komunikasi di perkantoran orang sudah memakai bahasa alay. Peluang ke arah sana sangat kecil karena bahasa alay hanya berpeluang berkembang lewat tulisan. Itu pun dengan media sebatas sarana pesan pendek di telepon genggam atau jejeraring sosial semacam Facebook dan Twitter.

Memang bagi kita yang sudah tak abege lagi, bahasa alay sering membuat kita “pusing”. Ya, bagaimana tidak pusing jika membaca tulisan “lamb knall yupz! nmAq Gendis. . !” (salam kenal ya, nama saya Gendis) “l3h knl n aq mnt n0 hp dunk 9 bwt nmbh tm3n” (setelah kenal minta nomor hapenya dong buat nambahi teman), “chayank …U skul di mn?” (sayang kamu sekolah di mana?), “qOh g Mo iDoP dLAM kmNfqA”(aku tak mau hidup dalam kemunafikan), “nPhA jDe gnE?” (kenapa jadi begini?), “TaKe mE 2 yOuR hEaRtZzz! (take me to your heart/bawalah aku ke dalam hatimu)

Para remaja yang sedang menuju proses menuju dewasa itu sebenarnya sungguh kreatif. Sama kreatifnya dengan para sopir truk yang menghias pantat truknya dengan tulisan “Lapendos” (laki-laki penuh dosa), “Kutunggu Jandamu”, atau “I Love U 4 Ever”.

Bahasa alay sebenarnya tidak lepas dari sebuah fenomena sosial dunia remaja. Ia berkaitan erat dengan gaya hidup, model pakaian, penampilan, hobi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan remaja. Konon, pada awalnya, istilah alay dipakai untuk ‘mendefinisikan’ anak remaja bergaya kampungan. Dalam perkembangan selanjutnya alay kemudian justru menjadi identitas remaja masa kini. Menjadi bukan remaja masa gini atau bukan remaja gaul jika tidak alay. Untuk memperjelas identitas, maka bahasa alay dipakai kelompok remaja itu. Akhirnya, bahasa alay pun berkembang seperti sekarang.

Dalam ilmu bahasa, bahasa alay termasuk sejenis bahasa diakronik. Yaitu bahasa yang dipakai oleh suatu kelompok dalam kurun waktu tertentu. Ia akan berkembang hanya dalam kurun tertentu. Perkembangan bahasa diakronik ini, tidak hanya penting dipelajari oleh para ahli bahasa, tetapi juga ahli sosial atau mungkin juga politik. Sebab, bahasa merupakan sebuah fenomena sosial. Ia hidup dan berkemban karena fenomena sosial tertentu.

Seperti bahasa slang atau bahasa khusus para gay, perkembangan bahasa alay kecil kemungkinannya untuk bisa mengalahkan bahasa Indonesia. Dengan begitu, tak ada alasan bagi kita mencemaskan perkembangan bahasa alay.

Yang bisa mengancam Bahasa Indonesia adalah adalah pemakaian bahasa yang tidak pada tempatnya. Misalnya yang terjadi di Madura baru-baru ini: sidang paripurna DPRD digelar dengan bahasa Madura. Dalam forum resmi tersebut semua anggota Dewan memakai baju adat Madura dan memakai bahasa Madura dari awal sampai akhir acara. Hal itu tentu saja berbeda dengan khotbah di masjid atau gereja di desa-desa di sebagian daerah Jawa Tengah yang masih memakai bahasa Jawa.

Kita juga layak cemas ketika seorang pejabat di Provinsi Lampung mengusulkan akan ada satu hari khusus bagi karyawan di lingkungan pemerintahan Provinsi Lampung menggunakan Bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di perkantoran. Maksudnya mungkin untuk melestarikan bahasa daerah, tetapi caranya tidak tepat.

Jadi, wahai para remaja, silakan terus ber-alay-alay. Asalkan dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat.

Kamis, 02 Desember 2010

Melihat Korea Utara melalui TV

2 Desember 2010


Kim Jong Il (born 16 February 1941)

Melalui sebuah acara televis Discovery Channel khusus mengenai Korea Utara, baru saya tahu bahwa di sana keadaannya sangat parah. Walaupun mereka sangat membanggakan kekuatan militer mereka yang merupakan no.4 di dunia, tapi di bidang lain, sangat jauh dari membanggakan. Dalam bidang kesehatan, walaupun warga tidak perlu membayar biaya kesehatan di RS, tapi dokter sangat rendah skill-nya, bahkan untuk operasi ringan seperti katarak saja, mereka [mungkin] tidak bisa. Di atas meja bedah, alih-alih kasur dan sprei bersih, yang ada hanya darah yang mengering di meja tersebut. Sangat tidak steril dan mengenaskan. Botol infus dibuat dari botol arak (yang ijo itu lho, yang kaya botol kecap). Bahkan tidak ada sabun di rumah sakit.

Korea Utara menerapkan politik luar negri tertutup. Hal ini terjadi sejak meletusnya Perang Korea (antara Korea Utara dan Korea Selatan) yang berlangsung dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953. Amerika Serikat adalah negara sekutu Korea Selatan yang sangat dibenci oleh SEMUA masyarakat Korea Utara. Saya memberi penegasan pada kata SEMUA karena hal itu sangat terlihat dari rekaman dokumenter curi-curi tersebut.

Kim Il Sung (15 April 1912 – 8 July 1994)

Hal lain yang saya lihat adalah betapa berhasilnya pemerintahan Kim Jong Il dalam melakukan pencucian otak atas rakyatnya. Doktrin yang sangat nyata mendarah daging adalah membenci Amerika sampai mati. Rakyat Korea Utara juga sangat mencintai dan memuja-muja Kim Jong Il serta Kim Il Sung (ayah Kim Jong Il) bak memuja dewa. Mereka sangat yakin bahwa pemimpin mereka itulah yang membuat mereka masih hidup dan hidup bahagia setelah kehancuran mereka di era Perang Korea.

Aksi Kim Jong Il dalam “menutup” Korea Utara sangatlah berhasil. Karena sampai saat ini, warga Korea Utara tidak mengenal buku umum dan internet. Sangat kontras dengan kehidupan Kim Jong Il sendiri yang dielu-elukan, yang konon merupakan pecinta film dan memiliki koleksi film sebanyak 20.000 buah. Buku-buku yang ada di Korea Utara semuanya ditulis oleh satu orang saja, yaitu Kim Il Sung, sang pendiri negara tersebut. Saya akan mengategorikan hal ini sebagai pembodohan. Mengerikan. Di era semacam ini… Saya melihat hidup mereka sama ‘modern’nya dengan kota kecil di Indonesia tahun 1990-an awal. Sedangkan HAM dll, jauhhhh tertinggal.

semua orang menghormati patung Kim Il Sung